Ergonomics’ Road Map – Where We Are Going?
Revolusi industri
yang berlangsung lebih dari dua abad yang lalu telah membawa
perubahan-perubahan dalam banyak hal. Awal perubahan yang paling
menyolok adalah diketemukannya rancang bangun (rekayasa/engineering)
mesin uap sebagai sumber energi untuk berproduksi, sehingga manusia
tidak lagi tergantung pada energi-ototi ataupun energi alam. Lebih jauh
lagi manusia bisa menggunakan sumber energi secara lebih fleksibel,
dipindahkan ataupun ditempatkan dimanapun lokasi aktivitas produksi akan
diselenggarakan. Diketemukannya mesin uap merupakan awal dikenalnya
sumber tenaga utama (prime mover) yang mampu meningkatkan
mobilitas dan produktivitas kerja manusia. Hal lain yang patut dicatat
adalah diterapkannya rekayasa tentang tata cara kerja (methods
engineering) guna meningkatkan produktivitas kerja yang lebih
efektif-efisien dengan menganalisa kerja sistem manusia-mesin sebagai
sebuah sistem produksi yang terintegrasi. Apa-apa yang telah dikerjakan
oleh Taylor, Frank & Lillian Gilbreth, Fayol, Muntersberg, Granjean, Barnes, Mundel, Kroemer, McCormick, Sanders dan lain-lain
telah menghasilkan paradigma paradigma baru dalam berbagai penelitian
kerja dengan fokus pada manusia sebagai penentu tercapainya
produktivitas dan kualitas kerja (quality of work life) yang lebih baik
lagi.
Banyak
istilah maupun definisi yang terkait dengan pemahaman mengenai ergonomi
seperti human factors, ergonomics, human engineering, human factors
psychology, applied ergonomics dan industrial engineering/ergonomics.
Dari sekian banyak istilah-istilah tersebut yang sering digunakan adalah
human factors dan ergonomics. Pemahaman mengenai human factors biasanya
dikaitkan dengan problematik psikologi kerja (mental workloads dan
cognitives issues); sedangkan ergonomi sendiri dikaitkan dengan physical
works. Selanjutnya pengertian mengenai human engineering atau
applied/industrial ergonomics akan banyak dihubungkan dengan aplikasi
data maupun pertimbangan
faktor manusia (human factors engineering) dalam proses perancangan,
test, evaluasi, modifikasi dari produk (peralatan, fasilitas) yang dari
sebuah sistem kerja (Moroney, 1995). Dari berbagai definisi dan
pengertian yang bermacam-macam tergantung perspektif yang ada; ergonomi
secara umum telah diartikan sebagai ”the study of work” (ergo = kerja,
nomos = hukum/aturan) dan mampu membawa perubahan yang signifikan dalam
mengimplementasikan konsep peningkatan produktivitas melalui efisiensi
penggunaan tenaga kerja dan pembagian kerja berdasarkan karakteristik
kelebihan maupun kekurangan manusia.
Kapankah
sebenarnya pendekatan ergonomi telah dilakukan manusia pada saat
merancang produk, alat kerja maupun sistem kerja? Hutchingson (1981)
dalam hal ini secara tegas menyatakan manusia-manusia ”pra-sejarah” yang
menggunakan alat/perkakas (tools) --- baik untuk melindungi maupun
membantu melaksanakan kerja tertentu --- merupakan peletak dasar
pemikiran dan penerapan ergonomi dalam proses perancangan
produk/peralatan kerja. Selanjutnya studi-studi mengenai peralatan kerja
yang harus dioperasikan dengan menggunakan tenaga fisik manusia
terutama di sektor pertanian (people-powered farming tools) telah pula
melahirkan banyak perubahan maupun modifikasi rancangan dengan lebih
memperhatikan faktor manusia.
Aplikasi
ergonomi di industri juga mencatat langkah penting yang secara
sistematik dilakukan oleh Taylor dengan restrukturisasi kerja ”ingot
loading task” di Bethlehem Steel – USA (tahun1898). Taylor telah
berhasil mendemonstrasikan bagaimana dengan pendekatan manajemen ilmiah
(scientific management) melalui pengaturan tatacara kerja (methods
engineering) dan penjadwalan kegiatan (work-rest schedules) telah mampu
meningkatkan produktivitas kerja operator secara significant. Taylor
telah memberikan landasan dalam proses perancangan kerja (work design)
dan formulasi langkah-langkah yang harus dilakukan untuk melaksanakan
studi gerak dan waktu (time and motion studies) guna mendapatkan
standar-standar kerja. Apa-apa yang telah dihasilkan oleh Taylor
kemudian diteruskan oleh Frand & Lilian Gilbreth dengan
studi-studinya tentang skilled performance, perancangan stasiun kerja
(workstation design) dan rancangan produk/fasilitas kerja khususnya
untuk orang cacat (handicapped people). Selain itu studi ergonomi lain
yang patut dicatat adalah apa yang dilakukan oleh Mayo (Hawthorne Plant,
1930-an) dan Munsterberg yang penelitian-penelitannya berhubungan
dengan kecelakaan kerja di industri (industrial accidents). Untuk
mencoba memberikan gambaran yang lebih jelas dan bagaimana pendekatan
ergonomi telah dilakukan oleh manusia melalui berbagai penelitian dan
tantangan situasional yang dihadapi dalam suatu periode waktu tertentu
bisa dilihat dalam tabel lampiran.
Konsep
produktivitas yang terjadi dalam lini produksi di industri telah
menggeser struktur ekonomi agraris yang berbasis pada kekayaan sumber
daya alam untuk kemudian beranjak menuju ke struktur ekonomi produksi
(industri) yang menekankan arti pentingnya nilai tambah (added value).
Fokus dari apa yang telah diteliti, dikaji dan direkomendasikan oleh
para pionir studi tentang kerja di industri ini --- yang selanjutnya
dicatat sebagai awal dari era “scientific management” --- telah
memberikan landasan kuat untuk menempatkan ”engineer as economist”
didalam perancangan sistem produksi. Dalam hal ini implementasi ergonomi
industri berkisar pada 2 (dua) tema pokok yaitu (a) telaah
mengenai“interfaces” manusia dan di mesin dalam sebuah sistem kerja, dan
(b) analisa sistem produksi (industri) untuk memperbaiki serta
meningkatkan performans kerja yang ada. Apa-apa yang telah dilakukan
oleh Taylor dan para pionir keilmuan teknik dan manajemen industri
lainnya itu (kebanyakan dari mereka justru berlatar belakang insinyur)
juga telah membuka cakrawala baru dalam pengembangan dan
penerapan sains-teknologi demi kemaslahatan manusia. Disini penerapan
sains, teknologi serta ilmu-ilmu keteknikan (engineering) tidak harus
selalu terlibat dalam masalah-masalah yang terkait dengan perancangan
perangkat keras (hardware) berupa teknologi produk maupun teknologi
proses; akan tetapi juga ikut bertanggung-jawab dalam
persoalan-persoalan yang berkembang dalam perancangan perangkat
teknologi lainnya (software, organoware dan brainware). Begitu pula,
kalau sebelumnya orang masih terpancang pada upaya peningkatan
produktivitas melalui “sumber daya pasif” (mesin, alat ataupun fasilitas
kerja lainnya), maka selanjutnya orang akan menempatkan manusia sebagai
“sumber daya aktif” yang harus dikelola dengan sebaik-baiknya guna
meningkatkan kinerja organisasi (perusahaan).
Pendekatan
ergonomi dalam perancangan teknologi di industri telah menempatkan
rancangan produk dan sistem kerja yang awalnya serba rasional-mekanistik
menjadi tampak lebih manusiawi. Disini faktor yang terkait dengan fisik
(faal/fisiologi) maupun perilaku (psikologi) manusia baik secara
individu pada saat berinteraksi dengan mesin dalam sebuah rancangan
sistim manusia-mesin dan lingkungan kerja fisik akan dijadikan
pertimbangan utama. Persoalan perancangan tata cara kerja di lini
aktivitas produksi nampaknya juga akan terus terarah pada segala upaya
untuk mengimplementasikan konsep “human-centered engineered systems”
dalam perancangan teknologi produk maupun proses dengan mengkaitkan
faktor manusia didalamnya. Ada dua prinsip utama yang harus diterapkan
pada saat industri ingin mengimplementasikan rancangan sistem kerja
dengan pendekatan ergonomis, yaitu: (a) harus disadari benar bahwa
faktor manusia akan menjadi kunci penentu sukses didalam
operasionalisasi sistem manusia-mesin (produk); tidak peduli apakah
sistem tersebut bersifat manual, semi-automatics (mechanics) ataupun
full-automatics, dan (b) harus diketahui terlebih dahulu sistem
operasional seperti apa yang kelak dapat dioperasikan dengan lebih baik
oleh manusia; namun disisi lain dengan melihat kekurangan, kelemahan
maupun keterbatasan manusia maka barulah perlu dipertimbangkan untuk
mengalokasikan operasionalisasi fungsi tersebut dengan menggunakan
mesin/alat yang dirancang secara spesifik.
Pendekatan
ergonomi yang dilakukan dalam perancangan sistem produksi di lantai
produksi akan mampu menghasilkan sebuah rancangan sistem manusia-mesin
yang sesuai dengan ekspektasi manusia pekerja atau tanpa menyebabkan
beban kerja yang melebihi ambang batas (fisik maupun psikologis) manusia
untuk menahannya. Dalam hal ini akan diaplikasikan segala macam
informasi yang berkaitan dengan faktor manusia (kekuatan,
kelemahan/keterbatasan) dalam perancangan sistem kerja yang meliputi
perancangan produk (man-made objects), mesin & fasilitas kerja
dan/atau lingkungan kerja fisik yang lebih efektif, aman, nyaman, sehat
dan efisien (ENASE). Rekayasa manusia (human engineering) yang dilakukan
terhadap sistem kerja tersebut diharapkan akan mampu (a) memperbaiki
performans kerja manusia seperti menambah kecepatan kerja, ketelitian,
keselamatan, kenyamanan dan mengurangi penggunaan enersi kerja yang
berlebihan dan mengurangi kelelahan; (b) mengurangi waktu yang terbuang
sia-sia untuk pelatihan dan meminimalkan kerusakan fasilitas kerja
karena human errors; dan (c) meningkatkan “functional effectiveness” dan
produktivitas kerja manusia dengan memperhatikan karakteristik manusia
dalam desain sistem kerja. Demikian juga sesuai dengan ruang lingkup
industri yang pendefinisiannya terus melebar-luas --- dalam hal ini
industri akan dilihat sebagai sebuah sistem yang komprehensif-integral
--- maka persoalan industri tidak lagi dibatasi oleh pemahaman tentang
perancangan teknologi produk dan/atau teknologi proses (ruang lingkup
mikro) saja, tetapi juga mencakup ke persoalan organisasi dan manajemen
industri dalam skala
sistem yang lebih luas, makro dan kompleks. Problem industri tidak lagi
berada didalam dinding-dinding industri yang terbatas, tetapi juga
merambah menuju ranah lingkungan luar-nya, sehingga memerlukan
solusi-solusi yang berbasiskan pemahaman tentang konsep sistem, analisis
sistem dan pendekatan sistem dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Untuk
mengantisipasi problematik industri yang semakin luas dan kompleks
tersebut, maka didalam penyusunan kurikulum pendidikan tinggi
sains-teknologi (tidak peduli program studi ilmu keteknikan macam apa
yang ingin ditawarkan) seharusnya tidak lagi semata hanya memperhatikan
arah perkembangan ilmu dan keahlian teknis (engineering); melainkan juga
harus dilengkapi dan diserasikan dengan ilmu-ilmu lain yang memberikan
wawasan maupun keterampilan (skill) yang berhubungan dengan persoalan
manusia, organisasi & manajemen industri, serta persoalan-persoalan
praktis yang dihadapi oleh industri dalam aktivitas rutinnya
sehari-hari. Arah perkembangan dan kemajuan di bidang sains-teknologi
memang perlu untuk senantiasa diikuti, akan tetapi yang juga tidak kalah
pentingnya adalah bagaimana persoalan-persoalan industri seperti
peningkatan daya saing, perselisihan perburuhan, pencemaran lingkungan,
rendahnya kualitas sumber daya manusia, kelangkaan energi,
restrukturisasi organisasi, analisa finansial, dan sebagainya ikut
dipikirkan serta dicarikan solusi pemecahannya. Persoalan-persoalan
semacam ini jelas harus bisa dijawab oleh manajemen dan pengambil
keputusan di lingkungan industri (yang banyak diantara mereka memiliki
latar belakang pendidikan di bidang teknologi dan engineering). Untuk
menghadapi persoalan-persoalan yang kebanyakan lebih bersifat kualitatif
dan non-eksak semacam begini, jelas kurikulum pendidikan tinggi
sains-teknologi akan memerlukan “supplemen” berupa materi-materi yang
berasal dari luar kepakaran ilmu keteknikan (engineering) seperti halnya
organisasi/manajemen (industri), ekonomi, bisnis, analisa finansial,
psikologi industri, ergonomi (mikro-makro), kepemimpinan (leadership),
etika profesi dan wawasan sosial-ekonomi lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar