Senin, 16 November 2015

Ergonomics’ Road Map – Where We Are Going?


Revolusi industri yang berlangsung lebih dari dua abad yang lalu telah membawa perubahan-perubahan dalam banyak hal. Awal perubahan yang paling menyolok adalah diketemukannya rancang bangun (rekayasa/engineering) mesin uap sebagai sumber energi untuk berproduksi, sehingga manusia tidak lagi tergantung pada energi-ototi ataupun energi alam. Lebih jauh lagi manusia bisa menggunakan sumber energi secara lebih fleksibel, dipindahkan ataupun ditempatkan dimanapun lokasi aktivitas produksi akan diselenggarakan. Diketemukannya mesin uap merupakan awal dikenalnya sumber tenaga utama (prime mover) yang mampu meningkatkan mobilitas dan produktivitas kerja manusia. Hal lain yang patut dicatat adalah diterapkannya rekayasa tentang tata cara kerja (methods engineering) guna meningkatkan produktivitas kerja yang lebih efektif-efisien dengan menganalisa kerja sistem manusia-mesin sebagai sebuah sistem produksi yang terintegrasi. Apa-apa yang telah dikerjakan oleh Taylor, Frank & Lillian Gilbreth, Fayol, Muntersberg, Granjean, Barnes, Mundel, Kroemer, McCormick, Sanders dan lain-lain telah menghasilkan paradigma paradigma baru dalam berbagai penelitian kerja dengan fokus pada manusia sebagai penentu tercapainya produktivitas dan kualitas kerja (quality of work life) yang lebih baik lagi.

Banyak istilah maupun definisi yang terkait dengan pemahaman mengenai ergonomi seperti human factors, ergonomics, human engineering, human factors psychology, applied ergonomics dan industrial engineering/ergonomics. Dari sekian banyak istilah-istilah tersebut yang sering digunakan adalah human factors dan ergonomics. Pemahaman mengenai human factors biasanya dikaitkan dengan problematik psikologi kerja (mental workloads dan cognitives issues); sedangkan ergonomi sendiri dikaitkan dengan physical works. Selanjutnya pengertian mengenai human engineering atau applied/industrial ergonomics akan banyak dihubungkan dengan aplikasi data maupun pertimbangan faktor manusia (human factors engineering) dalam proses perancangan, test, evaluasi, modifikasi dari produk (peralatan, fasilitas) yang dari sebuah sistem kerja (Moroney, 1995). Dari berbagai definisi dan pengertian yang bermacam-macam tergantung perspektif yang ada; ergonomi secara umum telah diartikan sebagai ”the study of work” (ergo = kerja, nomos = hukum/aturan) dan mampu membawa perubahan yang signifikan dalam mengimplementasikan konsep peningkatan produktivitas melalui efisiensi penggunaan tenaga kerja dan pembagian kerja berdasarkan karakteristik kelebihan maupun kekurangan manusia.

Kapankah sebenarnya pendekatan ergonomi telah dilakukan manusia pada saat merancang produk, alat kerja maupun sistem kerja? Hutchingson (1981) dalam hal ini secara tegas menyatakan manusia-manusia ”pra-sejarah” yang menggunakan alat/perkakas (tools) --- baik untuk melindungi maupun membantu melaksanakan kerja tertentu --- merupakan peletak dasar pemikiran dan penerapan ergonomi dalam proses perancangan produk/peralatan kerja. Selanjutnya studi-studi mengenai peralatan kerja yang harus dioperasikan dengan menggunakan tenaga fisik manusia terutama di sektor pertanian (people-powered farming tools) telah pula melahirkan banyak perubahan maupun modifikasi rancangan dengan lebih memperhatikan faktor manusia.

Aplikasi ergonomi di industri juga mencatat langkah penting yang secara sistematik dilakukan oleh Taylor dengan restrukturisasi kerja ”ingot loading task” di Bethlehem Steel – USA (tahun1898). Taylor telah berhasil mendemonstrasikan bagaimana dengan pendekatan manajemen ilmiah (scientific management) melalui pengaturan tatacara kerja (methods engineering) dan penjadwalan kegiatan (work-rest schedules) telah mampu meningkatkan produktivitas kerja operator secara significant. Taylor telah memberikan landasan dalam proses perancangan kerja (work design) dan formulasi langkah-langkah yang harus dilakukan untuk melaksanakan studi gerak dan waktu (time and motion studies) guna mendapatkan standar-standar kerja. Apa-apa yang telah dihasilkan oleh Taylor kemudian diteruskan oleh Frand & Lilian Gilbreth dengan studi-studinya tentang skilled performance, perancangan stasiun kerja (workstation design) dan rancangan produk/fasilitas kerja khususnya untuk orang cacat (handicapped people). Selain itu studi ergonomi lain yang patut dicatat adalah apa yang dilakukan oleh Mayo (Hawthorne Plant, 1930-an) dan Munsterberg yang penelitian-penelitannya berhubungan dengan kecelakaan kerja di industri (industrial accidents). Untuk mencoba memberikan gambaran yang lebih jelas dan bagaimana pendekatan ergonomi telah dilakukan oleh manusia melalui berbagai penelitian dan tantangan situasional yang dihadapi dalam suatu periode waktu tertentu bisa dilihat dalam tabel lampiran.

Konsep produktivitas yang terjadi dalam lini produksi di industri telah menggeser struktur ekonomi agraris yang berbasis pada kekayaan sumber daya alam untuk kemudian beranjak menuju ke struktur ekonomi produksi (industri) yang menekankan arti pentingnya nilai tambah (added value). Fokus dari apa yang telah diteliti, dikaji dan direkomendasikan oleh para pionir studi tentang kerja di industri ini --- yang selanjutnya dicatat sebagai awal dari era “scientific management” --- telah memberikan landasan kuat untuk menempatkan ”engineer as economist” didalam perancangan sistem produksi. Dalam hal ini implementasi ergonomi industri berkisar pada 2 (dua) tema pokok yaitu (a) telaah mengenai“interfaces” manusia dan di mesin dalam sebuah sistem kerja, dan (b) analisa sistem produksi (industri) untuk memperbaiki serta meningkatkan performans kerja yang ada. Apa-apa yang telah dilakukan oleh Taylor dan para pionir keilmuan teknik dan manajemen industri lainnya itu (kebanyakan dari mereka justru berlatar belakang insinyur) juga telah membuka cakrawala baru dalam pengembangan dan penerapan sains-teknologi demi kemaslahatan manusia. Disini penerapan sains, teknologi serta ilmu-ilmu keteknikan (engineering) tidak harus selalu terlibat dalam masalah-masalah yang terkait dengan perancangan perangkat keras (hardware) berupa teknologi produk maupun teknologi proses; akan tetapi juga ikut bertanggung-jawab dalam persoalan-persoalan yang berkembang dalam perancangan perangkat teknologi lainnya (software, organoware dan brainware). Begitu pula, kalau sebelumnya orang masih terpancang pada upaya peningkatan produktivitas melalui “sumber daya pasif” (mesin, alat ataupun fasilitas kerja lainnya), maka selanjutnya orang akan menempatkan manusia sebagai “sumber daya aktif” yang harus dikelola dengan sebaik-baiknya guna meningkatkan kinerja organisasi (perusahaan).

Pendekatan ergonomi dalam perancangan teknologi di industri telah menempatkan rancangan produk dan sistem kerja yang awalnya serba rasional-mekanistik menjadi tampak lebih manusiawi. Disini faktor yang terkait dengan fisik (faal/fisiologi) maupun perilaku (psikologi) manusia baik secara individu pada saat berinteraksi dengan mesin dalam sebuah rancangan sistim manusia-mesin dan lingkungan kerja fisik akan dijadikan pertimbangan utama. Persoalan perancangan tata cara kerja di lini aktivitas produksi nampaknya juga akan terus terarah pada segala upaya untuk mengimplementasikan konsep “human-centered engineered systems” dalam perancangan teknologi produk maupun proses dengan mengkaitkan faktor manusia didalamnya. Ada dua prinsip utama yang harus diterapkan pada saat industri ingin mengimplementasikan rancangan sistem kerja dengan pendekatan ergonomis, yaitu: (a) harus disadari benar bahwa faktor manusia akan menjadi kunci penentu sukses didalam operasionalisasi sistem manusia-mesin (produk); tidak peduli apakah sistem tersebut bersifat manual, semi-automatics (mechanics) ataupun full-automatics, dan (b) harus diketahui terlebih dahulu sistem operasional seperti apa yang kelak dapat dioperasikan dengan lebih baik oleh manusia; namun disisi lain dengan melihat kekurangan, kelemahan maupun keterbatasan manusia maka barulah perlu dipertimbangkan untuk mengalokasikan operasionalisasi fungsi tersebut dengan menggunakan mesin/alat yang dirancang secara spesifik.

Pendekatan ergonomi yang dilakukan dalam perancangan sistem produksi di lantai produksi akan mampu menghasilkan sebuah rancangan sistem manusia-mesin yang sesuai dengan ekspektasi manusia pekerja atau tanpa menyebabkan beban kerja yang melebihi ambang batas (fisik maupun psikologis) manusia untuk menahannya. Dalam hal ini akan diaplikasikan segala macam informasi yang berkaitan dengan faktor manusia (kekuatan, kelemahan/keterbatasan) dalam perancangan sistem kerja yang meliputi perancangan produk (man-made objects), mesin & fasilitas kerja dan/atau lingkungan kerja fisik yang lebih efektif, aman, nyaman, sehat dan efisien (ENASE). Rekayasa manusia (human engineering) yang dilakukan terhadap sistem kerja tersebut diharapkan akan mampu (a) memperbaiki performans kerja manusia seperti menambah kecepatan kerja, ketelitian, keselamatan, kenyamanan dan mengurangi penggunaan enersi kerja yang berlebihan dan mengurangi kelelahan; (b) mengurangi waktu yang terbuang sia-sia untuk pelatihan dan meminimalkan kerusakan fasilitas kerja karena human errors; dan (c) meningkatkan “functional effectiveness” dan produktivitas kerja manusia dengan memperhatikan karakteristik manusia dalam desain sistem kerja. Demikian juga sesuai dengan ruang lingkup industri yang pendefinisiannya terus melebar-luas --- dalam hal ini industri akan dilihat sebagai sebuah sistem yang komprehensif-integral --- maka persoalan industri tidak lagi dibatasi oleh pemahaman tentang perancangan teknologi produk dan/atau teknologi proses (ruang lingkup mikro) saja, tetapi juga mencakup ke persoalan organisasi dan manajemen industri dalam skala sistem yang lebih luas, makro dan kompleks. Problem industri tidak lagi berada didalam dinding-dinding industri yang terbatas, tetapi juga merambah menuju ranah lingkungan luar-nya, sehingga memerlukan solusi-solusi yang berbasiskan pemahaman tentang konsep sistem, analisis sistem dan pendekatan sistem dalam setiap proses pengambilan keputusan.

Untuk mengantisipasi problematik industri yang semakin luas dan kompleks tersebut, maka didalam penyusunan kurikulum pendidikan tinggi sains-teknologi (tidak peduli program studi ilmu keteknikan macam apa yang ingin ditawarkan) seharusnya tidak lagi semata hanya memperhatikan arah perkembangan ilmu dan keahlian teknis (engineering); melainkan juga harus dilengkapi dan diserasikan dengan ilmu-ilmu lain yang memberikan wawasan maupun keterampilan (skill) yang berhubungan dengan persoalan manusia, organisasi & manajemen industri, serta persoalan-persoalan praktis yang dihadapi oleh industri dalam aktivitas rutinnya sehari-hari. Arah perkembangan dan kemajuan di bidang sains-teknologi memang perlu untuk senantiasa diikuti, akan tetapi yang juga tidak kalah pentingnya adalah bagaimana persoalan-persoalan industri seperti peningkatan daya saing, perselisihan perburuhan, pencemaran lingkungan, rendahnya kualitas sumber daya manusia, kelangkaan energi, restrukturisasi organisasi, analisa finansial, dan sebagainya ikut dipikirkan serta dicarikan solusi pemecahannya. Persoalan-persoalan semacam ini jelas harus bisa dijawab oleh manajemen dan pengambil keputusan di lingkungan industri (yang banyak diantara mereka memiliki latar belakang pendidikan di bidang teknologi dan engineering). Untuk menghadapi persoalan-persoalan yang kebanyakan lebih bersifat kualitatif dan non-eksak semacam begini, jelas kurikulum pendidikan tinggi sains-teknologi akan memerlukan “supplemen” berupa materi-materi yang berasal dari luar kepakaran ilmu keteknikan (engineering) seperti halnya organisasi/manajemen (industri), ekonomi, bisnis, analisa finansial, psikologi industri, ergonomi (mikro-makro), kepemimpinan (leadership), etika profesi dan wawasan sosial-ekonomi lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar